Pages

Rabu, 22 Desember 2010

Tuk cinta yang tak tertandingi, cinta ibuku

Tuk cinta yang tak tertandingi, cinta ibuku
Oleh: Pawizi
Walau aku gak pernah punya seorang kekasih
Walau aku gak pernah merasakan dicintai oleh sang pacar
Walau aku gak pernah melewati indahnya percintaan
Tapi aku pernah mendapatkan cinta
Pernah merasakan dicintai, cinta yang lebih besar
Cinta yang luar biasa
Cinta dari insan yang yang ku anggap bagaikan malaikat
Cinta itulah cinta ibuku

bagi aku perhatian terbesar hanya dari ibuku, dia selalu ada disetiap langkahku, dia orang yang paling khawatir saat aku sakit, dia orang yang paling resah saat aku gak pulang-pulang kalau keluar rumah. hampir semua yang aku mau selalu ia beri, dia akan marah kalau aku gak mau makan, dan dia selalu mendahulukan keinginan daripada keinginannya sendiri.

kini, aku berada jauh darinya. dengan doa dan restunya aku sampai ketempat yang tak pernah ku bayangi tuk dapat kukunjungi sebelumnya. namun aku tak pernah merasa kehilangan kasihnya, karena perhatian tetap selalu dicurahkan buat aku, kasih sayang tetap dia tunjukkkan. 

aku gak kuat jika membayangkannya, dia yang bekerja keras buat masa depan aku. mataku akan berkaca-kaca bila mengingat senyumnya saat menyambut aku pulang kerumah, airmataku akan jatuh jika ku ingat dia memeluk saat aku mau pergi. kadang itu juga bisa jadi kekuatan buat aku. kekuatan tuk mewujudkan mimpiku buat membahagiakannya.


ya Allah kau lindungilah wanita ini, kau berikan ia kesehatan, kau mudahkanlah langkahnya, kau jagalah ia. 








SELAMAT HARI IBU








Selasa, 21 Desember 2010

Dimana Harus Kucurahkan Rasa?

Dimana Kucurahkan Rasa?
Oleh: Pawizi 

ku coba bertanya.....
semua hanya diam
gak ada yang menjawab
semua hanya sibuk
gak ada yang peduli

mungkin mereka telah punya kasih
punya sayang, punya cinta, punya rindu
punya semua yang mereka mau

ku coba tuk mencari.....
........
hanya titik-titik yang ku temui 
mungkin memang aku harus sendiri
jalani hidup ini meski bagai tak pasti

perlahan kuterima kenyataan ini
tapi hati tak mampu menghianati
karena sepi telah lama ku lewati

kadang sempat putus asa
kadang pernah kecewa
sampai aku serasa tak berdaya
semua harapan pun seakan sirna 

ku coba tuk bertanya.....

kasih, dimanakah dirimu?
tak kau hiraukan kah aku
yang selalu menanti datangmu
tanpa kamu, dimana harus kucurahkan rasa?


















Minggu, 19 Desember 2010

Untuk yang Ku Panggil Teman

Untuk yang Ku Panggil Teman
Oleh: Pawizi

Hari-hariku seperti gak ada artinya tanpa kalian.
Siang, malam, aku selalu bersama kalian
Kadang tawa, kadang juga duka selalu kita lewati bersama

Walau hati sempat marah
Oleh emosi yang meracuni
Tetapi itu tak berkepanjangan
Selalu ada maaf diantara kita

Kita semua satu
Meski tak ada latar belakang yang sama
Kita tak pernah merasa beda

Disaat luang kita sempatkan tuk menikmati kebersamaan
Mengabadikan kenangan
Merasakan kalau kita seperjuangan

Untuk yang ku panggil teman, terima kasih ku sampaikan
Pertemanan dengan kalian sungguh tak pernah menyesalkan
Aku butuh kalian dan kalian butuh aku
Biarlah kita dipisahkan oleh waktu




Pesan Keluargaku

Kata bapak: “ harus kuat, harus sabar, berani dan selalu hati-hati. Bisa menjaga nama baik keluarga kemanapun kamu membawanya”
Kata emak: jangan lupa sholat, baca Al-Quran, banyak-banyak berdoa tuk orang tua dan buat kamu sendiri, jangan selalu ngingatin keluarga dikampung, dan keuangan harus pandai-pandai menghemat”
Kata kakak2: harus selalu waspada, jangan banyak main-main, belajar baik-baik, pokoknya aku harus sukses, berhasil, dan bisa membanggakan keluarga”
Kata adik: “nanti kalau abang udah kerja, bawain kita jalan-jalan ya...”

Kadang aku sering lalai dengan pesan-pesan itu, aku egois, aku melupakan harapan besar mereka terhadap aku...
 Love u mom, dad, love u all....



Kamis, 16 Desember 2010

Melihat untuk adik ku


Melihat untuk adik ku
Oleh: pawizi

Hafis segera meletakkan kotak kecil itu dibawah tempat tidurnya, kemudian ditutup dengan gulungan tikar. Lalu dengan sebuah tongkat kayu ia bergegas keluar menyambut pulang adiknya, “ko gak salam dulu sih wan?..” dengan nada lembut. “capek kak, laper!!..”, Nawan melempar tas sekolahnya diatas meja dan menuju ke dapur. “ganti bajumu dulu baru makan..!!” Hafis menggunakan nada yang sedikit tegas. Namun Nawan tetap berlalu, dia mengambil piring kemudian membuka penutup saji dimeja makan. Hafis hanya mendenguskan nafas kemudian membawa tas yang tergeletak di atas meja dan menggantungkannya didinding kamar yang mereka gunakan untuk berdua.
Hafis dan Nawan memang jarang akur, bukan karena mereka saling cuek, tapi memang Nawan tidak begitu suka dengan kepedulian kakaknya, karena baginya itu sama saja dia diatur-atur.  Mereka tinggal disebuah rumah sederhana bersama pamannya, karena sejak Nawan berumur tiga tahun kedua ibunya meninggal karena penyakit ginjal yang diderita sejak hamil Nawan, sedangkan ayahnya sudah tiada sejak Nawan masih dalam kandungan ibunya. Oleh karena itu Hafis yang waktu itu masih kelas 4 SD terpaksa harus berhenti sekolah karena harus merawat adiknya. Hafis sangat menyayangi Nawan, dia selalu menasehatinya, memberinya semangat untuk belajar, karena dia mau Nawan menjadi sukses, bukan seperti dia.
Setiap hari Hafis membantu pamannya berjualan di warung makan sederhana didepan rumah, walaupun tidak bisa melihat, ia sangat tekun membantu pamannya. Banyak kerja yang bisa dilakukan Haifs untuk membantu pamannya, mencuci sayuran, mencuci piring, membersihkan meja, sehingga kadang banyak membuat para pembeli heran dengan Hafis yang bisa bekerja seperti bisa orang yang bisa melihat. Warung makan itu merupakan mata pencaharian utama mereka, karena pamannya sudah tidak beristri jadi hasil jualan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari termasuk untuk biaya sekolah Nawan. Setiap hari Hafis menabung sebagian uang yang diberikan oleh pamannya itu, dan sebagiannya lagi digunakan untuk menebus obat yang diambil dipuskesmas setiap minggunya. Sejak kecil Hafis menderita kelainan jantung, jadi dia harus tergantung dengan obat setiap harinya untuk mempertahankan agar kerja jantungnya tak semakin lemah.
Di hari minggu....
Nawan juga biasanya ikut membantu diwarung, sambil mengelap piring dia bicara dengan nada manja dan sedikit memelas, “...kak, ulang tahunku besok beliin sepeda yaa, aku capek kalo tiap hari jalan kaki kesekolah...”. Hafis tidak langsung menjawab tapi paman yang saat itu sedang menumpukkan kayu ditungku masak menjawab, “...jangan minta yang aneh-aneh wan, kesian kakakmu itu..”. Hafis seolah tak mendengar, dia tetap terus mencuci potongan sayur dalam sebuah ember, “gak ada PR buat besok wan..?” tanyanya seolah tak menanggapi permintaan Nawan tadi. Namun Nawan tak menjawabnya, dia berhanti bekerja, dengan memasang muka yang sangat murung dia meninggalkan warung dan masuk ke rumah.
Keesokan harinya...
Jam menunjukkan pukul 4 sore, warung sudah ditutup tapi Nawan belum juga pulang kerumah. Tentu Hafis sangat resah karena untuk anak SMP kelas 2  biasanya sudah pada pulang, tapi pamannya coba menenangkan, “udahlah, paling dia ngambek yang kemaren, trus mampir ketempat temannya. Ntar kalo lapar juga dia pulang...”. Hafis menghentak-hentakkan tongkatnya pada lantai rumah,”...ini semua salah aku, aku gak bisa memberi apa yang dia mau, aku memang kakak yang tidak berguna...”. Belum sempat paman bicara tiba pintu terbuka dengan keras. “...nah itu dia pulang...” paman menjawab santai. Dengan nada lantang Nawan merungut, “...aku mau berhenti sekolah aja, capek kayak gini terus. Tadi itu olah raga dilapangan desa, bayangin aku jalan sejauh itu...”. Hafis menghampiri Nawan, “Wan, kakak pasti akan beliin kamu sepeda, kakak janji pas hari ulang tahun kamu nanti kamu akan berangkat ke sekolah dengan sepeda...”. mendengar itu Nawan langsung merubah ekspresi wajahnya, di pegang tangan kakaknya, “...beneran kak?...berarti 10 hari lagi dong. Makasih y kak...”. Nawan memeluk kakaknya, Hafis pun tersenyum sambil menggosok-gosok kepala adik yang sangat di sayangi itu.
5 hari menjelang hari ulang tahun Nawan, Hafis pergi ketempat jual sepeda, dia menanyakan harga-harga sepeda yang dijual disana. “...250ribu?? mau dapetin dari mana dalam waktu 5 hari ya, dari paman dapatnya 50 ribu...”. Hafis kembali kerumah dan kembali mengeluarkan sebuah kotak kecil yang disimpan dibawah tempat tidur itu, matanya berkaca-kaca. Dia takut tak bisa memenuhi janjinya kepada Nawan.
Sehari sebelum ulang tahun Nawan, Hafis mendatangi Nawan yang lagi mengerjakan pekerjaan sekolahnya, “...wan, uang kakak belum cukup mau ambil sepedanya besok. Ditunda 1 minggu lagi aja ya...”. Nawan sontak langsung mengarahkan pandangan pada kakaknya,”...kakak emang gak berguna, kenapa sih kakak harus buta? Coba aja kakak gak buta, kan kakak bisa cari kerja lain yang bisa dapat uang lebih banyak, aku kecewa sama kakak...”. Hafis refleks mengangkat tangan dan mengarah ke pipi Nawan, dia gak berkata apa-apa, nafasnya semakin cepat, dilepas tongkat ditangannya, dia menangis dengan menggenggam tangan yang menampar adiknya itu.
Pagi-pagi dihari ulang tahunnya Nawan sudah berangkat ke sekolah. Hafis dan pamannya tidak mengherankan hal itu karena mereka menganggap itu pasti karena kejadian tadi malam. Di hari itu paman tidak membuka warung makan nya dikarenakan keadaan paman yang kurang sehat. Hafis tidak mau berdiam dirumah, ia pamit tuk mencari pekerjaan sampingan. “...paman, minggu ini aku gak usah ambil obat ya, sepertinya aku udah lumayan baik. Sekarang aku mau ke pasar bentar, kemaren pak Yono nawarin mindahin barang ditokonya. Aku titip ini buat Nawan ya pawan...”, jelas Hafis sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang biasa dia lihat dan selembar kertas yang berlipat. Paman berusaha mencegahnya, Namun Hafis tak menghiiraukannya dia tetap bersikeras dengan alasan mau membahagiakan Nawan pada hari ulang tahunnya itu.
Hari tampak mendung, Hafis membawa uang yang sudah terkumpul 150ribu dan menuju ketoko milik pak Yono. Hampir 8 jam Hafis membantu disana, pak Yono memberinya uang 100ribu. Hafis sungguh amat senang. Dia langsung menuju ketempat jual sepeda yang pernah didatangin sebelumnya. Hujan mulai turun, Hafis kehujanan diperjalanan, tapi dia tak menghentikan langkahnya tangannya yang sebelah memegang tongkat mulai gemetar. Dia berusaha bertahan memegang sepeda. Memasuki jalan kecil menuju rumahnya Hafis sudah benar-benar tidak kuat lagi, kakinya makin tak kuat menumpang badannya, ditambah lagi harus menuntun sebuah sepeda. Satu langkah menapak ia tergeletak dipinggir jalan yang berumput itu.
Hujan makin deras, Nawan seperti ada rasa yang mengkhawatirkan baginya. Dia tak lagi menghiraukan hujan, ditinggalkan teman-temannya yang masih menunggu hujan reda didepan-depan kelas. Nawan berlari seakan mengejar sesuatu yang sedang menunggunya. Dari jauh Nawan melihat seolah ada sesuatu yang terbaring dipinggir jalan menuju kerumahnya. Makin dekat semakin jelas, sampai terlihat sebuah sepeda baru disamping orang terbaring itu. Setelah dilihat ternyata itu kakaknya, Nawan langsung berteriak sekeras-kerasnya memanggil kakaknya, dia mengabaikan sepeda baru disamping kakaknya itu. Nawan berlari menuju kerumah memanggil pamannya.
“...adik ku tersayang, selamat ulang tahun ya, hari ini usiamu genap 12 tahun, kau makin besar, makin susah tuk kakak timang-timang. Maafin kakak gak bisa menepatii janji kakak buat kamu, seharusnya hari ini kamu berangkat ke sekloah dengan sepeda yang kakak janjikan.
Adik...dari kecil kakak selalu ingin kamu bahagia, tapi kakak gak tau apa yang mesti kakak lakukan tuk membuat kamu bahagia. Kakak buta, kakak gak berguna, gak seperti yang kamu harapkan. Tiap hari kakak hanya bisa menasehati kamu agar selalu disiplin sama diri sendiri, rajin belajar, biar kamu sukses dik. Kakak gak mau kamu sampai putus sekolah seperti kakak.
Sebenarnya kakak gak mau kamu tau hal ini, kakak gak mau kamu merasa bersalah. Tapi karena kamu sudah makin besar, inilah saatnya kakak beritahu apa yang sesungguhnya. Waktu kamu lahir kakak sangat senang sekali, karena kakak mendapat seorang adik yang lucu, apalagi laki-laki, bisa diajak main bersama. tapi sejak kamu berumur 6 bulan ada tanda-tanda yang aneh pada matamu, kamu selalu menangis, kata dokter matamu terinfeksi sejak lahir, jadi kamutidak bisa melihat. Kakak sedih mendengarkan hal itu, tapi kakak gak mau kecewa, kakak gak pernah membiarkanmu menangis, kakak selalu menghibur kamu. Sampai ibu meninggal, waktu itu kamu berusia tiga tahun. Kakak membawamu ketempat paman, dan kakak terpaksa harus berhenti sekolah. Waktu kamu berumur 4 tahun kakak memutuskan untuk memberikan kedua bola mata kakak buat kamu. Karena kakak ingin kamu melihat keindahan alam ini, bermain dan bersenang-senang. Kakak rela harus berjalan dengan menggunakan tongkat.
Hari ini kakak anggap kakak masih melihatmu, kamu yang lucu seperti kamu waktu kecil. kakak akan takut kalau kamu merajuk, jadi kakak akan dapetin sepeda yang kamu mau itu. Tolong gunakan baik-baik sepedanya. Kakak akan selalu menyayangi adikku...”
Kemudian Nawan membuka kotak kecilnya, didalamnya ada foto-foto waktu Nawan masih berumur 3 tahun yang digendong kakaknya. Dibawahnya ada sebuah buku rekening, Nawan tak membukanya. Dia hanya menangis menyesali semua perlakuan nya terhadap kakaknya.